Jujutsu Kaisen adalah salah satu judul seri bergenre shonen yang sedang sangat populer saat ini, bersama dengan beberapa judul lainnya seperti Demon Slayer dan juga My Hero Academia. Salah satu alasan mengapa Jujutsu Kaisen begitu diminati adalah bagaimana sistem pertarungan yang dihadirkan sangat menarik dan unik. Dalam universenya, emosi negatif dari manusia bisa berubah menjadi berbagai macam hal.

Misalnya berubah menjadi monster kutukan yang mengerikan. Dan hanya para penyihir Jujutsu saja yang bisa menghadapi mereka. Hal ini dikarenakan para penyihir Jujutsu bisa memanfaatkan energi negatif untuk bisa menghadapi para monster kutukan tersebut. Yang menarik adalah ternyata kemampuan ini bisa juga membahayakan bagi mereka yang menggunakannya.

Emosi Negatif Berujung Kekalahan

Dibandingkan dengan sebagian besar seri Shonen lainnya, bisa dibilang sistem pertarungan yang disuguhkan Jujutsu Kaisen sangat rumit dan juga pasti, karena berdasarkan emosi yang ada dalam diri manusia. Di awal serinya, Yuuji Itadori diharuskan oleh Gojo menonton film The Lord of the Rings dan memintanya untuk tidak menggunakan emosinya.

Hal itu menjadi latihan dasar Itadori agar dia bisa menggunakan teknik kutukan (cursed technique). Butuh waktu lama bagi Itadori untuk kemudian bisa menguasai teknik tersebut. Dan seperti yang dihadirkan dalam ceritanya, sebagian besar karakter dalam seri Jujutsu Kaisen adalah remaja yang beranjak dewasa.

Geeks tentunya tahu bahwa para remaja secara emosi masih belum sempurna dan matang. Mereka masih mencari tahu tentang diri mereka sendiri atau sedang mencari jati diri. Emosi mereka yang sangat kuat bisa menjadi jalan untuk membuat sebuah teknik kutukan yang dahsyat. Contohnya adalah binatang sihir yang dipanggil oleh Megumi atau teknik unik yang digunakan oleh Nobara.

Namun, disadari atau tidak hal tersebut juga justru bisa berbalik kepada sang penyihir. Artinya, dengan kata lain ada efek samping negatif yang mengancam para penyihir Jujutsu muda tersebut jika kemudian mereka semua mengandalkan kekuatan emosi mereka secara salah sasaran. Misalnya, seorang penyihir Jujutsu tidak boleh mengandalkan kekuatan mereka dari rasa sakit akan kekalahan.

Pada awalnya, kekalahan yang memalukan nampak bisa menjadi sumber kekuatan yang sangat besar. Penyihir tersebut bisa menyalurkan rasa amarah mereka dan juga rasa memalukan akan kekalahan tersebut dengan menjadi sosok yang kuat dalam pertarungan sebelumnya. Namun, ada hal paradoks atau berlawanan yang muncul jika kemudian hal tersebut dilakukan.

Ketika kemudian sang penyihir Jujutsu berhasil menang dalam pertarungan, maka emosi positif dalam diri mereka yang akan muncul. Rasa bangga, puas, dan senang tentunya akan menyelimuti hati dari penyihir tersebut. Sehingga, emosi negatif yang besar yang kemudian menjadi sumber kekuatan dari penyihir tersebut akan hilang.

Dan jika kekuatan tersebut hilang artinya, mereka akan berubah menjadi lemah. Dan jika seorang penyihir lemah, maka mereka akan kalah dalam pertarungan menghadapi monster kutukan di pertarungan selanjutnya. Kekalahan akan kembali menghadirkan kekuatan negatif yang kemudian bisa dirubah menjadi energi oleh sang penyihir untuk bisa memenangkan pertarungan selanjutnya.

Siklus tersebut tidak akan berhenti dan akan terus berlangsung. Para penyihir Jujutsu yang masih muda bisa menjadi korban dari siklus emosi negatif tersebut, dan tentu tidak akan mudah untuk kemudian bisa lepas dari hal ini. Seri shonen lainnya yang bisa mendemonstrasikan apa yang sedang dijelaskan adalah Ranma 1/2.

Dalam salah satu poin di ceritanya, seorang karakter bernama Ryoga mempelajari teknik Shishi Hokodan, yang mana dia menggunakan emosi negatif sebagai inti kekuatannya, seperti halnya seri Jujutsu Kaisen. Dia berhasil mengalahkan rivalnya dengan menggunakan teknik tersebut. Dengan kemenangan yang dia raih, justru membuat kekuatan Ryoga melemah karena dia tidak lagi memiliki emosi negatif.

Ranma menggunakan teknik yang sama dengan Ryoga, di mana dia memanfaatkan kekalahan memalukan yang dia alami untuk menjadi sumber kekuatannya. Kedua karakter ini terus terlibat dalam sebuah paradoks tanpa akhir, sampai akhirnya Ranma kemudian menggunakan teknik lainnya untuk bisa mengalahkan Ryoga selamanya. Secara teori, hal yang sama juga bisa saja terjadi di Jujutsu Kaisen.

Paradoks tanpa akhir bisa saja muncul di seri Jujutsu Kaisen. Namun, seperti yang sudah diperlihatkan oleh para karakter utama, ada banyak alternatif yang bisa dilakukan atau diambil untuk bisa mencegah paradoks terjadi.

Bagaimana Menyalurkan Emosi Negatif

Yuji dan teman-teman sekelasnya selalu menyalurkan emosi negatif mereka sepanjang waktu untuk menjadi sumber kekuatan dari teknik-teknik yang mereka gunakan. Dan sejauh ini, mereka menghindari siklus kalah-menang yang bisa merusak apa yang sudah mereka pelajari. Mereka kemudian memanfaatkan hal lainnya untuk bisa menjadi sumber kekuatan mereka.

Dibandingkan menggunakan emosi negatif dari kekalahan, mereka memanfaatkan emosi negatif dari frustasi, kesedihan karena ditinggal seseorang, dan masih banyak lainnya. Meskipun kurang menyenangkan, tetapi emosi negatif tersebut bisa dibilang menjadi sumber kekuatan besar bagi para penyihir Jujutsu selain kekalahan. Dan emosi negatif tersebut juga tidak akan menciptakan paradoks.

Penyihir Jujutsu seperti Nobara, Megumi, dan Yuji, bisa menggunakan sumber emosi negatif tersebut sebagai kekuatan dasar mereka karena cenderung lebih stabil. Para penyihir muda tersebut paham bahwa emosi negatif yang egois hanya akan membuat mereka kesulitan dalam pertarungan, dan mereka memutuskan untuk menggunakan emosi negatif lainnya sebagai sumber kekuatan.

Irvan
Irvan adalah content writer yang berpengalaman lebih dari 5 tahun di bidang pop culture termasuk film, otaku stuff dan gaming. Di Greenscene, Irvan berfokus untuk coverage di topik seputar Otaku.