Apabila menilik balik kualitas dari sekuel-sekuel Halloween terdahulu (tidak menghitung dualogi reboot milik Rob Zombie yang keren itu), kualitasnya memanglah terkesan hit & miss. Jadi sekali lagi wajarlah apabila franchise slasher horror klasik karya John Carpenter ini, menjadi salah satu franchise ikonik berikutnya yang mendapatkan treatment Ret-Con.

Bagi yang belum mengetahui, Ret-Con aka Retroactive Continuity adalah salah satu tren yang kini sedang ngetop-ngetopnya di rana hiburan khususnya, Hollywood.

Tren ini digunakan oleh hampir sebagian besar franchise film untuk membetulkan tatanan kisah kontinuitas franchise filmnya. Hal ini dilakukan dengan harapan dapat memuaskan fans baru dan fans veteran yang kerap memprotes kelogikaan kontinuitas yang ada.

Nah, seharusnya dengan menerapkan tren tersebut, kita yang fans berat franchise Halloween merasa puas. Namun sayang. Setelah menyaksikan filmnya, kami jadi menyesali mengapa film ini yang digagas sebagai sekuel Ret-Con resminya.


Banyak Perubahan Yang Salah Ambil


Dan bukanlah tanpa alasan kami berpendapat demikian. Pasalnya, lumayan banyak faktor yang membuat film ini tidak seharusnya menjadi sekuel resminya. Namun dari seluruh faktor yang ada, adalah faktor salah ambil keputusan perbaikan yang menjadi masalah utamanya.

Maksudnya disini, banyak perubahan-perubahan yang ditampilkan oleh sutradara David Gordon Green (Pineapple Express) dan aktor sekaligus komedian Danny McBride (30 Minutes or Less) yang menjadi penulis naskahnya yang benar-benar terlihat salah banget atau tidak seharusnya seperti demikian.

Pertama, adalah keputusan film ini yang membuka awal filmnya melalui sudut pandang dua karakter jurnalis investigatif yang telah bertahun-tahun mempelajari kasus kelam yang dialami oleh Laurie Strode (Jamie Lee Curtis) 4 dekade sebelumnya, Aaron Korey (Jefferson Hall) dan Dana Haines (Rhian Ress). Sebenarnya masuk akal dan fine-fine saja.

Namun, jujur deh Geeks. Niat awal kita untuk menyaksikan film ini pastinya untuk melihat bagaimana keadaan Laurie 40 tahun kemudian bukan? Jadi ya semestinya film ini diambil saja dari sudut pandangnya. Atau setidaknya dari sudut pandang si maniak, Michael Myers (Nick Castle).

Untung saja seperti yang telah dikatakan, penerapan sudut pandangnya masih terlihat masuk akal dan yang lebih penting, cuma di awal-awal saja. Setelah itu, sudut pandang penceritaan kembali diambil dari perspektif Laurie beserta keluarganya.


Cucu Mengesalkan & Kurangnya Build-up Suspense


Kesalahan selanjutnya adalah ditampilkannya dan banyak berfokusnya sekuel ini terhadap karakter cucu Laurie, Allyson Strode (Andi Matichak). Satu pertanyaan yang sukses “membakar” otak kami semenjak menyaksikan filmnya hingga menuliskan review-nya ini: “Untuk apa sih karakter ini ditampilkan?”

Di awal-awal film, sang cucu sepertinya memang terlihat akan memiliki peranan yang penting. Tapi seiring berjalannya adegan, Allyson malah berakhir layaknya seperti peran pembantu saja.

Barulah menjelang menit-menit terakhir (termasuk ending), karakternya terlihat penting. Walau di saat yang sama, tidaklah dipungkiri bahwa kadar / atribusi kepentingannya masih dalam tahap “fine”.

Dan faktor ketiga sekaligus yang menjadi komplain utama dari sekuel ini adalah pembangunan tensi tegang atau build-up suspense yang tidak segreget seperti film orisinilnya dulu.

Spesifiknya, kita tentunya masih ingat betul terhadap cara Carpenter dalam membangun ketegangan alur filmnya yang secara perlahan tapi pasti di film orisinilnya itu bukan? Nah pembangunan tensi yang ikonis tersebut sayangnya tidaklah semaksimal dulu.

Oh ya satu lagi. Sekuel ini banyak menampilkan taktik jump-scare yang salah alias bukan seperti di film Halloween atau film-film horor zaman dulu lainnya yang alhasil, membuat kita kesal sendiri ketika merasakannya. Ya mau diapakan? Tren menakut-nakuti film horor zaman sekarang memang “jedar-jeder salah” seperti itu bukan?


Michael Myers Masih Gila dan Beringas


Untungnya naskah dari sekuel yang juga menghadirkan kembali aktor pemeran Myers ketika tidak menggunakan topeng, Tony Moran ini tidaklah seluruhnya buruk. Terdapat beberapa aspek positif juga di dalamnya. Aspek positif pertama tentunya adalah penggambaran si pembunuh berantai favorit kita di film ini.

Setiap kali ia tampil di layar, sosoknya terlihat masih berings dan sadis seperti yang kita lihat selama 40 tahun belakangan. Korban-korban masih berjatuhan dengan “teknik” membunuhnya yang sadis dan “kreatif”.

Namun di saat yang sama, sayangnya ia tidak diberikan motif yang jelas ketika melakukan aksinya. Memang, di sekuel ini ia kembali ke kampung halamannya Haddonfield setelah mengacaukan bus transfer rumah sakit jiwanya, dengan tujuan untuk beraksi kembali di hari Halloween.

Tapi di film ini ia ditampilkan membunuh siapapun yang ingin ia bunuh. Ini tentunya berbeda jauh dengan motif film orisinilnya yang hanya mengincar sahabat-sahabat Laurie dan mereka-mereka yang sedang melakukan hubungan seks bebas.

Sekilas kalau dipikir aspek tersebut bukanlah masalah besar. Toh namanya juga pembunuh psikopat bukan? Memang. Tapi “target pasar” yang menjadi incaran tersebut sudah begitu ikonik. Sehingga, tidak heran apabila kami merasa sedikit “meh” ketika melihat Myers membunuh korbannya secara acak (random).


Jamie Lee Curtis si Laurie Strode yang Semakin Badass Saja


Aspek positif selanjutnya dari Halloween tentunya adalah penampilan Curtis sebagai Laurie. WOW. Bisa dikatakan aktris yang kini telah berusia 59 tahun ini memanglah diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa untuk memerankan karakter ini.

Sori kalau agak berlebihan pujiannya. Tapi memang seperti itulah yang kami rasakan ketika menyaksikan penampilannya. Ia disini ditampilkan semakin badass saja. Namun di saat yang sama, sosoknya kali ini juga mampu membuat kita yang menyaksikan, turut berempati terhadapnya

Kami juga turut merasakan bagaimana perihnya hidup setiap hari dengan masih dibayang-bayangi oleh sosok yang membuat diri super traumatis selama 4 dekade dan, bertanggung jawab atas terpecah belahnya hubungan baik dengan seluruh sanak keluarga.

Berdasarkan pernyataan tersebut, yap bisa dikatakan bahwa kami tidak bisa membayangkan sosok aktris lain yang bisa menggantikan sosok Curtis sebagai Laurie andaikan, suatu saat Hollywood memutuskan untuk me-reboot total franchise ini. Hmm semoga saja tidak demikian.


Proyek Yang semestinya Tidak Usah Dibuat


Namun terlepas beberapa aspek positif yang telah disebutkan tersebut, pada akhirnya Halloween versi 2018 ini, seharusnya tidak perlu dilampu-hijaukan proyeknya oleh Carpenter. Jujur pada awalnya kami memang cukup excited mendengar bahwa versi ini akan menjadi sekuel resminya.

Tapi setelah menyaksikan filmnya, kami kini menjadi bingung berapa banyak “uang sogok” yang diberikan oleh Blum ke Carpenter agar mendapatkan restunya untuk menjalankan proyek sekuel ini.

Toh kalau dipikir juga, franchise ini tak membutuhkan treatment Ret-Con. Pasalnya menurut kami, Halloween II (1981) dan Halloween H20 (1998) adalah dua sekuel Halloween orisinil yang sesungguhnya. Kalaupun film ini memang ingin tetap dirilis, ya jangan dilupakan event yang terjadi di film-film Halloween yang menampilkan Laurie sebelumnya.

Tapi ya mau diapakan? Carpenter sudah tidak muda lagi dan membutuhkan pemasukan di hari tuanya bukan? Akhir kata, bagi Geeks yang mungkin audiens baru, mungkin kalian akan suka dengan film ini. Namun bagi Geeks yang fanboy franchise-nya, kemungkinan besar akan kecewa berat.

Namun mau bagaimanapun, kami sarankan agar Geeks menyaksikan terlebih dahulu film orisinil 1978-nya sebelum menyaksikan versi terbarunya ini.

TINJAUAN IKHTISAR
Storyline
Acting
Cinematography
Music Scoring
review-halloween-sekuel-retconApabila menilik balik kualitas dari sekuel-sekuel Halloween terdahulu (tidak menghitung dualogi reboot milik Rob Zombie yang keren itu), kualitasnya memanglah terkesan hit & miss. Jadi sekali lagi wajarlah apabila franchise slasher horror klasik karya John Carpenter ini, menjadi salah satu franchise ikonik berikutnya yang...