Serial live action The Last of Us baru saja melanjutkan kisahnya dengan episode kedua yang berjudul ‘Infected’. Dalam episode terbaru ini terungkap bagaimana wabah infeksi Cordyceps pertama kali menyebar di Indonesia. Hal tersebut beresonansi kuat pada petualangan Joel, Tess, dan Ellie di luar Zona Karantina, di mana infeksi Cordyceps ternyata jauh lebih mengerikan dari yang pernah dibayangkan sebelumnya. Dengan semua kejadian di episode 2 tersebut, terungkap bahwa ternyata Cordyceps di versi live action mempunyai perbedaan yang cukup fundamental dengan versi gamenya. Apa saja? Mari kita bahas!

Jakarta Jadi Origin Wabah Cordyceps

Meskipun sama-sama berasal dari jamur ophiocordyceps, tetapi versi live action The Last of Us menghadirkan satu perbedaan penting tentang lokasi awal penyebaran wabah. Di mana pada opening episode terbarunya diceritakan bahwa semuanya bermula dari sebuah pabrik tepung dan gabah yang ada di Jakarta, Indonesia. Sebagai pembanding, di game The Last of Us sendiri, Cordyceps pertama kali diceritakan menyebar di Amerika Serikat pada akhir tahun 2013, tepatnya setelah jamur yang bermutasi terbawa dari Amerika Selatan melalui ekspor-impor tanaman pangan, sampai akhirnya menyebar ke seluruh dunia.

Sedangkan di episode kedua versi live actionnya, para penonton diperlihatkan pada sebuah dampak kejadian mengenaskan yang menimpa sejumlah buruh pabrik tepung, tepatnya pada tahun 2003 di Jakarta Barat. Di mana seorang buruh wanita tiba-tiba mengamuk dan menyerang sesama buruh. Akibatnya wanita tersebut terpaksa ditembak oleh militer, begitu juga dengan para buruh lain yang terlibat sebelumnya, kecuali empat belas orang yang menghilang pasca kejadian. Menurut hasil pemeriksaan Kementrian Kesehatan Indonesia dan Ratna (Christine Hakim), semuanya terjadi karena infeksi otak Cordyceps.

Penyebaran Spora yang Relatif ‘Jinak’

Perbedaan Cordyceps lainnya yang baru terungkap di versi live action The Last of Us adalah proses penyebaran spora yang relatif lebih jinak dari versi gamenya. Hal tersebut terbukti dari proses penyebarannya yang tidak secepat di gamenya. Penggemar setia gamenya pasti tahu bahwa spora Cordyceps merupakan salah satu elemen yang membuat suasana The Last of Us tampak lebih mengerikan. Ketika memasuki tempat yang dipenuhi dengan jamur, para pemain akan langsung melihat banyak spora yang berterbangan. Di mana hal ini mengharuskan siapa pun untuk mengenakan masker demi menghidari infeksi otak.

Berbeda dengan gamenya, di versi live action The Last of Us justru masker gas dan spora Cordyceps bukanlah sesuatu yang esensial. Hal tersebut bisa kita lihat di episode kedua, di mana Joel dan Tess tidak memerlukan masker untuk memasuki gedung yang dipenuhi jamur Cordyceps. Meskipun jamurnya mati, seharusnya hal tersebut tidak menutup kemungkinan bagi spora Cordyceps untuk berterbangan di dalam ruangan. Faktanya hal ini ternyata memang sengaja dilakukan di versi live actionnya agar masker gas tidak menghalangi wajah dan eskpresi dari para karakternya.

“Serialnya memang sengaja mengambil pendekatan yang lebih realistis terhadap cerita dan dunianya,” kata penulis dan pencipta The Last of Us Neil Druckmann kepada Polygon beberapa waktu lalu. “Jika karakternya memakai masker gas, kita akan kehilangan banyak hal yang mungkin merupakan bagian terpenting dari perjalanan mereka. Seperti apa yang terjadi di balik mata mereka, di jiwa mereka, di dalam diri mereka. Untuk alasan itulah kami harus mencari vektor (penghubung) yang berbeda.”

Jamur Cordyceps yang Saling Terhubung

Sebagai ganti dari elemen yang hilang karena menjadikan penyebaran spora Cordyceps lebih jinak, versi live action The Last of Us sengaja menghadirkan elemen baru yang membuat jamurnya terasa lebih realistis sekaligus lebih mengerikan. Yaitu sulur atau akar Cordyceps yang saling menghubungkan jamurnya dengan para infected (zombie) di sekelilingnya. Hal inilah yang pada akhirnya menjadi ‘vektor’ baru di versi live actionnya, di mana para infected dan jamurnya bisa saling berkomunikasi melalui sulur yang tertanam di dalam tanah. Menariknya, hal ini ternyata didasarkan pada ilmu jamur di dunia nyata.

Menurut mikologi, cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang jamur, sulur atau akar Cordyceps yang kita lihat di The Last of Us episode 2 adalah miselium. Bagian jamur yang menyerupai benang ini menyebar di dalam tanah dan menghubungkan jamur dengan tumbuhan lainnya. Hubungan tersebut mirip seperti ‘internet alam’ yang rumit sekaligus kuat, di mana fungsi utamanya adalah mengangkut air dan nutrisi serta sarana untuk ‘berkomunikasi’ antara tumbuhan yang saling terhubung. Itulah mengapa Cordyceps bisa mengarahkan pasukan Infected ke lokasi Joel, Tess, dan Ellie di ending episode 2.

Itulah perbedaan fundamental antara Cordyceps di game dan versi live action The Last of Us. Semua perbedaan ini secara tidak langsung membuat Cordyceps versi live action terasa lebih baik. Karena adanya perbedaan ini khususnya proses miselium, jamur Cordyceps menjadi terasa jauh lebih mengancam dari versi gamenya. Selain itu, dengan memulai semuanya dari negara subur seperti Indonesia, sekarang versi live actionnya menjadi terasa lebih relate juga dengan kehidupan nyata. Yang lebih parahnya lagi sekarang kita juga tahu bahwa tujuan Cordyceps adalah menyebarkan jamur sekaligus menguasai dunia.

Egie
Egie adalah content writer yang memiliki passion tinggi untuk topik pop culture seputar komik, film dan series. Bergabung sejak tahun 2021, kini Egie menjadi salah satu sosok paling di andalkan untuk covering berbagai hal seputar pop culture.