Ada beberapa alasan mengapa kemudian remake film adaptasi live action dari series animasi tidak selamanya berhasil, bahkan cenderung selalu gagal. Dalam beberapa tahun belakangan banyak rumah produksi yang memutuskan untuk menghadirkan proyek adaptasi dari berbagai judul animasi populer untuk kemudian dihadirkan dalam bentuk live action. Bukan hanya film, berbagai TV series pun melakukan hal yang sama.

Melakukan adaptasi terhadap berbagai judul animasi dalam bentuk live action sebenarnya merupakan sesuatu yang sangat beresiko. Di sisi lain, ini juga merupakan sebuah hal yang tidak mudah untuk dilakukan. Akibatnya, mayoritas dari proyek adaptasi live action tersebut harus mengalami kegagalan. Ada beberapa alasan mengapa adaptasi live action selalu gagal. Apa saja?

Berbeda Dari Sumber Asli

Ini adalah salah satu alasan utama mengapa adaptasi live action selalu gagal. Banyak para fans yang selalu mengkritik proyek adaptasi live action tentang bagaimana alur cerita dalam proyek tersebut berbeda dengan versi aslinya. Contoh nyata dari hal ini adalah dua film Scooby-Doo di tahun 2002 dan 2004, serta yang paling fenomenal adalah kegagalan proyek film Death Note.

Dalam kasus Scooby-Doo, kedua film tersebut justru menghadirkan subplot cerita romansa yang mana hal ini tidak pernah muncul dalam cerita animasinya. Sedangkan, dalam kasus Death Note sang sutradara benar-benar merombak total karakter atau pun cerita dari versi aslinya yang mana membuat para fans tidak senang akan hal tersebut. Perubahan detil dari versi asli sebenarnya sah untuk dilakukan, namun akan lebih baik jika film atau TV series tersebut tetap berpacu pada sumber aslinya.

Gagal Menghadirkan Inti Cerita

Masih berkaitan dengan perubahan elemen cerita atau hal lainnya dalam versi adaptasi live action, yang juga membuat gagal berbagai proyek tersebut adalah gagal untuk menghadirkan inti cerita. Contoh nyata dari hal ini adalah film Avatar: The Last Airbender karya M. Night Shyamalan di tahun 2010. Ada banyak hal yang salah dari film ini sehingga membuat para fans menolak untuk mengaitkan filmnya dengan versi asli.

adaptasi live action gagal

Selain dari permasalahan casting yang tidak sesuai dengan etnik dalam cerita aslinya, yang kemudian jadi masalah adalah film tersebut berusaha untuk merangkum intisari dari seluruh cerita seriesnya yang mana sayangnya hal tersebut gagal untuk mereka lakukan. Banyak elemen penting dalam cerita atau karakter dari TV seriesnya yang tidak muncul di film tersebut, yang mana justru film tersebut menghadirkan sebuah cerita yang baru.

Sumber Aslinya Bermasalah

Disney merupakan rumah produksi yang dikenal berhasil untuk melakukan perubahan terhadap berbagai cerita asli dari berbagai kisah yang mereka hadirkan. Mereka selalu berhasil menghadirkan cerita mengerikan dari kisah asli dan kemudian dirubah menjadi jauh lebih ramah keluarga. Seperti yang disebutkan di atas, melakukan perubahan terhadap alur cerita bukan sesuatu yang dilarang untuk dilakukan.

Perubahan detil atau hal lainnya tetap bisa dilakukan dan bahkan perlu untuk dilakukan, jika kemudian diketahui sumber aslinya bermasalah. Sutradara atau pembuat cerita tentunya perlu menyesuaikan premis dan plotnya agar tidak juga menjadi bencana bagi filmnya. Jika semuanya mampu untuk dibungkus dan disajikan dengan sangat menarik, bukan tidak mungkin filmnya akan sukses. Film Cinderella karya Kay Cannon bisa jadi contoh nyata dari hal ini.

Terlalu Banyak Menghadirkan Perbedaan

Diversifikasi atau perbedaan merupakan hal yang selalu digaungkan oleh Disney, apalagi dalam beberapa tahun belakangan. Rumah produksi tersebut selalu menghadirkan berbagai perbedaan tersebut melalui berbagai hal dalam proyek yang mereka hadirkan. The Little Mermaid adalah contoh nyata paling baru dari hal ini. Film tersebut menghadirkan cast yang lebih beragam, termasuk Ariel.

Dalam cerita animasinya, Ariel merupakan karakter berkulit putih. Namun, Disney memutuskan untuk menghadirkan Ariel dengan warna kulit yang berbeda yang diperankan oleh Halle Bailey. Secara penampilan, memang Bailey berhasil menghidupkan karakternya. Namun, banyak fans yang mengkritik hal ini di mana Disney terlalu banyak berusaha untuk menghadirkan perbedaan. Meskipun cukup sukses di pasaran, namun hype dari filmnya tidak berlangsung lama bila dibandingkan dengan kontroversi yang muncul.

Karakter yang Mengerikan

Dalam cerita animasi, berbagai karakter yang muncul dalam ceritanya biasanya sangat lucu, menawan, dan mampu menarik perhatian para penonton. Berbagai film animasi Disney atau TV series seperti The Legend of Aang adalah contoh bagaimana karakter animasi bisa sangat menarik. Namun, bagaimana kemudian jika karakter yang awalnya menarik dan lucu justru harus jadi mengerikan dalam versi live action?

adaptasi live action gagal

Dan ini juga yang kemudian jadi salah satu alasan utama mengapa banyak adaptasi live action pada akhirnya harus gagal. The Little Mermaid lagi-lagi jadi contoh dari hal ini. Dalam film animasinya, Ariel diketahui memiliki salah seorang sahabat yaitu seekor ikan bernama Flounder yaitu ikan berwarna biru dan kuning. Ketika kemudian karakternya muncul dalam film live action, banyak yang berpendapat jika karakter tersebut sangat mengerikan karena “terlalu realistis.”

Proyek adaptasi remake live action memang bisa jadi salah satu cara untuk memberikan warna yang berbeda dalam industri film. Film adaptasi live action juga bisa membuat para fans dari sumber aslinya senang karena ada hal lain yang dihadirkan dalam ceritanya. Namun, di sisi lain, ada juga beberapa alasan yang bisa membuat adaptasi live action gagal.

Irvan
Irvan adalah content writer yang berpengalaman lebih dari 5 tahun di bidang pop culture termasuk film, otaku stuff dan gaming. Di Greenscene, Irvan berfokus untuk coverage di topik seputar Otaku.