Film perang telah menjadi genre yang memikat sejak awal perfilman. Mereka seringkali menggambarkan kisah-kisah kepahlawanan, pengorbanan, dan ketegangan dalam berbagai konflik sejarah. Dengan sinematografi yang luar biasa, akting yang kuat, dan kisah yang mendalam, film-film perang ini telah mengukuhkan diri sebagai karya-karya terbaik dalam sejarah perfilman. Berikut adalah 10 film perang terbaik sepanjang sejarah:

All Quiet on the Western Front (2022)

“All Quiet on the Western Front” adalah salah satu film perang terbaru yang hadir di platform streaming Netflix, dan film ini diadaptasi dari novel karya Erich Maria Remarque yang sangat terkenal.

Alur cerita film ini berfokus pada Paul Bäumer (diperankan oleh Felix Kemmerer), seorang pemuda Jerman yang antusias bergabung dengan tentara pada awal Perang Dunia I, dipengaruhi oleh semangat patriotisme yang kuat. Namun, begitu dia tiba di medan perang yang keras di Front Barat, Paul dan teman-temannya segera menyadari kengerian dan kekacauan perang yang sesungguhnya.

Film ini menggambarkan kengerian perang dengan sangat realistis, dengan adegan pertempuran yang brutal dan penuh ketegangan. Para prajurit muda berjuang untuk bertahan hidup dalam kondisi yang mengerikan, sementara mereka menghadapi ancaman kematian yang konstan.

Kisah Paul dan rekan-rekannya juga menggambarkan dampak psikologis perang yang merusak. Mereka harus menghadapi kenyataan bahwa perang bukanlah hal yang heroik, melainkan mengerikan dan menghancurkan. Film ini menyoroti perubahan yang dialami oleh para prajurit dari semangat patriotisme awal hingga menjadi manusia yang terpukul oleh trauma perang.

“All Quiet on the Western Front” adalah penggambaran yang sangat kuat tentang kengerian perang dan perubahan yang dialaminya terhadap individu dan masyarakat. Film ini dikenal dengan akting yang luar biasa dari para castnya dan menghadirkan pesan yang kuat tentang kebutuhan untuk menghindari perang dan menghargai kehidupan manusia.

Saving Private Ryan (1998)

“Saving Private Ryan,” disutradarai oleh Steven Spielberg, adalah sebuah mahakarya perang yang memberikan pengalaman yang sangat mendalam tentang perang Dunia II, khususnya dalam masa pendaratan Normandy yang terkenal pada D-Day.

Alur cerita dimulai dengan adegan yang sangat mengesankan, di mana sekelompok tentara Amerika mendarat di pantai Normandy pada 6 Juni 1944. Adegan ini dianggap sebagai salah satu representasi paling nyata dan mengguncang dari pendaratan Normandy yang sebenarnya. Ketegangan dan kekacauan di medan perang digambarkan dengan sangat kuat, dengan adegan pertempuran yang brutal dan penuh ketegangan.

Cerita berfokus pada Kapten John Miller (diperankan oleh Tom Hanks), yang memimpin sebuah kelompok tentara yang bertugas untuk mencari dan membawa pulang James Francis Ryan (diperankan oleh Matt Damon), seorang prajurit yang ketiga saudaranya tewas dalam berbagai medan perang. Misinya adalah untuk menghadirkan Ryan kembali ke keluarganya agar mereka tidak kehilangan semua anak laki-laki mereka dalam perang.

Selama perjalanan mereka melintasi wilayah yang berbahaya dan bertemu dengan berbagai karakter yang memiliki cerita dan pengalaman perang mereka sendiri. Pertanyaan moral muncul seiring dengan pertempuran yang mereka hadapi, menggambarkan pengorbanan dan pilihan sulit yang harus dibuat dalam konteks perang.

Film ini menonjolkan akting luar biasa dari Tom Hanks, Matt Damon, dan seluruh pemeran, yang mampu menghadirkan karakter-karakter yang kompleks dan manusiawi. Spielberg menggambarkan perang sebagai sebuah pengalaman yang mengerikan dan merusak, tetapi juga menghadirkan momen-momen kebaikan dan solidaritas di antara para prajurit.

Apocalypse Now (1979)

“Apocalypse Now,” disutradarai oleh Francis Ford Coppola, adalah sebuah epik perang yang diangkat dari novel Joseph Conrad, “Heart of Darkness,” yang menempatkan cerita di tengah-tengah perang Vietnam. Film ini menggambarkan perjalanan mengerikan Kapten Benjamin Willard (diperankan oleh Martin Sheen) saat dia diberi tugas untuk mengejar dan membunuh seorang kolonel Amerika yang gila, Walter E. Kurtz (diperankan oleh Marlon Brando).

Alur cerita dimulai dengan Willard yang diberi tugas rahasia oleh komando militer untuk mencari Kurtz, yang dikenal sebagai seorang yang sangat terpelajar dan telah melampaui kendali dalam operasinya di Vietnam. Willard melakukan perjalanan melintasi sungai Nung, mendekati wilayah yang semakin liar dan terpencil, yang dianggap sebagai wilayah Kurtz. Selama perjalanannya, dia harus berurusan dengan berbagai ancaman, termasuk pertempuran sengit dan bahaya dari lingkungan hutan yang mematikan.

Film ini menggambarkan ketegangan perang Vietnam dengan cara yang unik dan gelap, menghadirkan pemandangan yang terdistorsi dan terluka dari medan perang. Dikenal dengan visual yang mengguncang dan penggambaran kegilaan perang, “Apocalypse Now” menjelajahi tema-tema kegelapan, korupsi moral, dan ketidakpastian dalam konteks perang.

Pencarian Willard untuk menemukan Kurtz adalah perjalanan yang semakin menggila dan penuh ketegangan. Ketika dia akhirnya bertemu dengan Kurtz, dia menghadapi keberadaan yang menakutkan dan kegilaan yang mengguncang. Marlon Brando memberikan penampilan yang mendalam sebagai kolonel yang telah kehilangan kendali dan menjalani eksistensi yang sangat berbeda dari yang diharapkan.

Musik dalam film ini, khususnya lagu “The End” oleh The Doors dan musik orkestra yang menciptakan atmosfer yang mendalam dan menegangkan. “Apocalypse Now” adalah pengalaman sinematik yang menakjubkan dan mengesankan yang menghadirkan perang sebagai kekuatan destruktif yang mengguncang jiwa dan moral manusia.

Dalam sejarah perfilman, “Apocalypse Now” dianggap sebagai salah satu film perang terbaik yang pernah dibuat, dan eksplorasi kompleksitas manusia dalam situasi perangnya membuatnya menjadi karya seni yang mendalam dan kontemplatif tentang konflik dan ketegangan dalam sejarah perang dunia.

Full Metal Jacket (1987)

“Full Metal Jacket,” disutradarai oleh Stanley Kubrick, adalah sebuah film perang yang berbeda. Film ini menampilkan dua babak yang sangat berbeda dalam narasinya, namun keduanya menggambarkan dampak perang terhadap karakter-karakter utamanya dengan cara yang mendalam dan terkesan.

Alur cerita dimulai di Parris Island, Carolina Selatan, di mana sekelompok rekrutan Angkatan Laut Amerika Serikat menjalani pelatihan ketat di bawah bimbingan seorang sersan instruktur yang kejam, Sersan Hartman (diperankan oleh R. Lee Ermey). Pelatihan ini dimaksudkan untuk mengubah mereka menjadi prajurit yang tahan dan siap untuk tugas-tugas militer di Vietnam.

Karakter utama dalam pelatihan ini adalah Leonard “Gomer Pyle” Lawrence (diperankan oleh Vincent D’Onofrio), seorang rekrutan yang awalnya lemah dan tidak cocok untuk kehidupan militer. Namun, berkat perlakuan keras Sersan Hartman, Pyle berubah menjadi sosok yang terganggu dan akhirnya menghadapi nasib tragis.

Babak kedua film ini berlangsung di Vietnam, di mana prajurit-prajurit yang masih hidup, termasuk James T. “Joker” Davis (diperankan oleh Matthew Modine), menghadapi kengerian perang guerilla dan ketegangan moral yang mendalam. Joker bertugas sebagai reporter perang dan menyaksikan berbagai aspek konflik tersebut.

Film ini menggambarkan ketegangan dan dehumanisasi dalam pelatihan militer, di mana para rekrutan diubah menjadi mesin pembunuh yang tak berperasaan. Babak kedua menciptakan atmosfer yang suram dan gelap di medan perang Vietnam, dengan Joker yang harus berhadapan dengan dilema moral saat dia menyaksikan ketegangan dan kekerasan dalam konflik tersebut.

Stanley Kubrick menghadirkan visual yang mendalam dan kuat dalam film ini, dengan fokus pada detail dan nuansa yang kuat. Dialog-dialog tajam dan karakter-karakter yang kompleks memberikan kedalaman yang luar biasa pada narasi film.

Dunkirk (2017)

“Dunkirk” adalah karya epik dari sutradara terkenal Christopher Nolan yang menghadirkan kisah luar biasa dari peristiwa evakuasi Dunkirk selama Perang Dunia II. Film ini menggambarkan momen kritis dalam sejarah ketika ribuan tentara Sekutu terjebak di pantai Dunkirk, Prancis, dan harus dievakuasi dari ancaman pasukan Jerman.

Alur cerita film ini diatur dalam tiga narasi paralel yang berjalan secara bersamaan. Yang pertama adalah di darat, mengikuti sekelompok tentara Inggris, Prancis, dan Belgia yang mencoba bertahan hidup di pantai Dunkirk yang terus menerus diserang oleh pasukan Jerman. Yang kedua adalah di laut, di mana sejumlah kapal kecil, termasuk kapal-kapal penangkap ikan dan perahu nelayan, dipanggil oleh pemerintah Inggris untuk membantu dalam evakuasi. Dan yang ketiga adalah di udara, dengan pesawat-pesawat tempur Inggris yang berusaha melindungi pasukan dan kapal-kapal dari serangan musuh.

Ketiga alur cerita ini saling terkait dan memberikan pandangan yang lengkap tentang kengerian perang dan kegigihan manusia untuk bertahan hidup. Kita mengikuti pengalaman beberapa karakter, seperti Tommy (diperankan oleh Fionn Whitehead), seorang tentara di pantai; Mr. Dawson (diperankan oleh Mark Rylance), seorang nelayan sipil yang membawa keluarganya untuk membantu evakuasi; dan Farrier (diperankan oleh Tom Hardy), seorang pilot tempur yang terlibat dalam pertempuran udara.

“Dunkirk” membangun ketegangan sepanjang film dengan penggunaan musik Hans Zimmer yang intens dan visual yang menggambarkan kengerian perang dengan penuh detail. Nolan menciptakan atmosfer yang mendalam dan mengesankan, memberikan penonton pengalaman yang intens dan tak terlupakan.

Platoon (1986)

“Platoon,” disutradarai oleh Oliver Stone, adalah salah satu film perang yang paling kuat dan realistis yang pernah dibuat. Film ini menghadirkan sudut pandang yang sangat pribadi tentang kengerian perang Vietnam dan dampaknya pada individu.

Alur cerita film ini berfokus pada Chris Taylor (diperankan oleh Charlie Sheen), seorang mahasiswa yang memutuskan untuk bergabung dengan Angkatan Darat Amerika Serikat dan mendaftar untuk bertugas di Vietnam. Ketika dia tiba di Vietnam, dia mengalami kenyataan yang keras tentang perang yang sangat berbeda dari apa yang dia bayangkan. Dia bergabung dengan sebuah unit infanteri yang dipimpin oleh Kapten Elias (diperankan oleh Willem Dafoe) dan Sersan Barnes (diperankan oleh Tom Berenger).
Film ini menggambarkan konflik internal di antara prajurit Amerika yang terlibat dalam perang tersebut. Chris Taylor berada di tengah-tengah pertempuran sengit, ketegangan internal di antara rekan-rekannya, dan ketidakpastian moral. Dia menyaksikan tindakan kejam dan brutalitas yang terjadi di medan perang, sementara dia juga menemukan saudara-saudara di antara rekan-rekannya yang berusaha bertahan hidup.

Ketegangan mencapai puncaknya ketika konflik antara Kapten Elias dan Sersan Barnes memanas. Kedua pemimpin ini memiliki pendekatan yang sangat berbeda terhadap perang, dengan Elias mewakili moralitas dan kemanusiaan, sementara Barnes mewakili kekerasan dan kekejaman. Konflik ini memuncak dalam pertempuran brutal di hutan yang menjadi salah satu momen paling ikonik dalam film.

“Platoon” menghadirkan visual yang kuat dan menggambarkan medan perang Vietnam dengan penuh detail. Film ini memberikan gambaran yang memilukan tentang kehilangan, ketidakpastian, dan penderitaan yang dialami oleh prajurit di medan perang. Akting yang luar biasa dari para pemain, terutama Willem Dafoe dan Tom Berenger, memberikan kedalaman dan kompleksitas pada karakter-karakter dalam film.

Oliver Stone, yang sendiri pernah bertugas di Vietnam, menghadirkan visi yang sangat pribadi tentang perang dalam “Platoon.” Film ini menggambarkan perang sebagai pengalaman yang merusak dan mewakili kebingungan moral yang terjadi dalam situasi konflik. “Platoon” telah mendapatkan banyak penghargaan dan dianggap sebagai salah satu film perang yang paling kuat dan autentik dalam sejarah perfilman.

1917 (2019)

“1917,” disutradarai oleh Sam Mendes, adalah sebuah film perang yang unik dalam hal pengarahan dan narasi. Film ini mengangkat peristiwa penting dalam sejarah Perang Dunia I dan menghadirkan alur cerita dalam waktu nyata yang menciptakan ketegangan yang konstan.

Alur cerita film ini berfokus pada dua prajurit Inggris, Lance Corporal Tom Blake (diperankan oleh Dean-Charles Chapman) dan Lance Corporal Will Schofield (diperankan oleh George MacKay). Mereka menerima tugas yang sengaja mustahil: harus menyampaikan pesan ke sebuah unit yang sedang dalam bahaya besar. Pesan tersebut berisi perintah untuk menghentikan serangan yang tampaknya akan menghadirkan malapetaka bagi 1.600 tentara, termasuk saudara Tom.

Apa yang membuat “1917” sangat unik adalah bahwa film ini disutradarai dan diedit sedemikian rupa sehingga terlihat seolah-olah diambil dalam satu tembakan panjang tanpa potongan. Ini menciptakan pengalaman waktu nyata yang sangat intens, di mana penonton mengikuti prajurit-prajurit ini melalui medan perang yang penuh bahaya dan pengalaman yang mendebarkan.

Selama perjalanan mereka, Tom dan Will harus menghadapi berbagai rintangan, termasuk pertempuran sengit, medan yang penuh dengan mayat, dan bahaya lainnya. Mereka juga bertemu dengan karakter-karakter lain dalam perjalanan mereka, yang memberikan gambaran yang lebih besar tentang keganasan perang.

Film ini menggunakan pengarahan visual yang brilian oleh Roger Deakins, yang menciptakan komposisi yang luar biasa dalam setiap adegan. Cahaya dan bayangan digunakan dengan cermat untuk menciptakan suasana yang sesuai dengan situasi yang berubah-ubah.

Musik Thomas Newman juga memberikan lapisan emosional yang dalam pada film ini, meningkatkan ketegangan dan dramatisme dalam alur cerita.

“1917” adalah pengalaman sinematik yang mengesankan, menggambarkan ketegangan dan ketidakpastian perang dengan cara yang sangat pribadi. Film ini tidak hanya memukau secara visual, tetapi juga menghadirkan kisah kepahlawanan dan pengorbanan yang mendalam. Dengan pengarahan yang brilian dan akting yang kuat, “1917” dianggap sebagai salah satu film perang terbaik dalam sejarah perfilman dan menghadirkan kisah epik yang mengesankan tentang perang dan manusia.

Black Hawk Down (2001)

“Black Hawk Down,” yang disutradarai oleh Ridley Scott, adalah sebuah film perang yang berdasarkan kisah nyata tentang Pertempuran Mogadishu yang terjadi pada tahun 1993 di Somalia. Film ini menghadirkan narasi yang mendalam tentang misi militer yang menjadi sangat berbahaya dan berantakan.

Alur cerita dimulai ketika pasukan Amerika Serikat dan tentara PBB yang terdiri dari Rangers dan pasukan Delta Force dikirim ke Mogadishu, Somalia, untuk menangkap seorang panglima perang Somalia yang dikenal sebagai Mohamed Farrah Aidid. Misi ini awalnya direncanakan sebagai operasi yang relatif singkat, tetapi segala sesuatunya mulai berjalan tidak seperti yang diharapkan.

Ketika pasukan Amerika mencoba mengekstradisi panglima perang tersebut, mereka segera mendapati diri mereka terjebak dalam sebuah pertempuran sengit di tengah kota Mogadishu. Konvoi mereka diserang oleh pasukan milisi Somalia, dan dua helikopter UH-60 Black Hawk Amerika ditembak jatuh.

Alur cerita film ini mengikuti pengalaman para prajurit yang terjebak di medan perang yang semakin memburuk. Mereka harus berjuang untuk bertahan hidup dan mencoba menyelamatkan rekan-rekan mereka yang terluka, sementara menghadapi tekanan yang luar biasa dari pasukan musuh yang terus mengepung mereka.

Film ini menonjolkan berbagai karakter dalam pertempuran tersebut, termasuk Sersan Eversmann (diperankan oleh Josh Hartnett), Sersan Sanderson (diperankan oleh William Fichtner), dan Kapten Steele (diperankan oleh Jason Isaacs). Mereka semua menghadapi tantangan besar dalam upaya mereka untuk keluar dari situasi yang semakin genting.

“Black Hawk Down” menghadirkan aksi yang mendebarkan sepanjang film, dengan pertempuran yang intens dan visual yang sangat mengguncang. Film ini juga menggambarkan ketegangan moral dan psikologis yang dialami para prajurit dalam situasi ekstrem seperti itu.

Ridley Scott berhasil menciptakan atmosfer yang sangat realistis dalam film ini, dengan memotret ketegangan dan kekacauan pertempuran dengan sangat baik. Film ini juga mencerminkan keberanian dan pengorbanan para prajurit dalam situasi yang penuh risiko.

“Black Hawk Down” adalah penggambaran yang kuat tentang ketegangan perang modern dan bagaimana situasi bisa berubah menjadi bencana dalam sekejap mata. Film ini menghormati para prajurit yang terlibat dalam pertempuran tersebut dan menjadi kenangan yang berkesan tentang perang dan pengorbanan yang dihadapkan oleh para pahlawan dalam medan perang yang penuh bahaya.

Hacksaw Ridge (2016)

“Hacksaw Ridge,” disutradarai oleh Mel Gibson, adalah sebuah film perang berdasarkan kisah nyata seorang prajurit medis yang luar biasa selama Perang Dunia II. Film ini mengisahkan kisah nyata Desmond Doss (diperankan oleh Andrew Garfield), seorang anggota Tentara Amerika Serikat yang menolak untuk membawa senjata selama bertugas di medan perang, namun masih menjadi pahlawan yang tak tertandingi.

Alur cerita dimulai dengan latar belakang masa kecil Desmond Doss yang tumbuh dalam keluarga yang sangat religius di Virginia. Karena keyakinan agamanya yang kuat dan prinsip-prinsip non-kekerasan, Doss memutuskan untuk bergabung dengan Angkatan Darat Amerika Serikat dan mendaftar sebagai prajurit medis, meskipun dia mengetahui bahwa tugas militer tersebut berpotensi membahayakan hidupnya.

Pada saat Doss tiba di latihan dasar militer, dia dihadapkan dengan tekanan dari sesama prajurit dan petugas pelatihan untuk membawa senjata seperti yang diwajibkan dalam tugas-tugas militer. Namun, Doss tetap kukuh pada prinsipnya dan menolak untuk melanggar keyakinannya. Meskipun dihadapkan dengan penganiayaan dan cemoohan dari rekan-rekannya, Doss terus memperjuangkan haknya untuk bertugas sebagai prajurit non-kekerasan.

Kisah Doss mencapai puncaknya ketika unitnya dikirim ke pulau Okinawa, Jepang, untuk memerangi pasukan Jepang yang sangat berbahaya di Hacksaw Ridge. Di sini, Doss menunjukkan keberanian dan pengorbanan yang luar biasa. Tanpa membawa senjata, dia menyelamatkan banyak nyawa, mengobati dan mengevakuasi prajurit yang terluka, dan bertahan hidup di tengah-tengah pertempuran yang ganas.

Film ini menggambarkan keteguhan moral dan keberanian Doss dengan sangat kuat. Performa Andrew Garfield yang brilian membawa karakter Doss menjadi hidup, dan Mel Gibson berhasil menghadirkan aksi yang mendebarkan di medan perang yang mematikan.

“Hacksaw Ridge” adalah cerita inspirasional tentang seorang pria yang tidak hanya mempertahankan prinsip-prinsipnya dalam situasi yang sangat berbahaya, tetapi juga menjadi pahlawan yang menyelamatkan banyak nyawa dalam prosesnya. Film ini mengangkat nilai-nilai seperti keberanian, integritas, dan ketekunan, dan telah mendapatkan penghargaan dan pujian luas sebagai salah satu film perang terbaik dalam beberapa tahun terakhir.

The Thin Red Line (1998)

“The Thin Red Line,” disutradarai oleh Terrence Malick, adalah sebuah film perang yang sangat berbeda dari kebanyakan film perang lainnya. Film ini dianggap sebagai karya seni yang mempertanyakan eksistensi manusia dan dampak perang terhadap jiwa.

Alur cerita film ini berlatar belakang Perang Dunia II dan fokus pada Pertempuran Guadalcanal, sebuah kampanye militer yang berlangsung selama berbulan-bulan di sebuah pulau di Pasifik Selatan. Namun, alur cerita tidak hanya berfokus pada pertempuran itu sendiri, tetapi juga menggambarkan pemikiran dan perasaan para prajurit yang terlibat.

Film ini mengikuti sekelompok prajurit Amerika yang ditempatkan di hutan-hutan hujan yang lebat di Guadalcanal. Di antara karakter-karakter utama adalah Kapten John Gaff (diperankan oleh John C. Reilly), Sersan Edward Welsh (diperankan oleh Sean Penn), Sersan Keck (diperankan oleh Woody Harrelson), dan Sersan Witt (diperankan oleh Jim Caviezel).

Pertempuran di Guadalcanal yang keras dan kejam digambarkan dalam film ini, tetapi Terrence Malick juga mengeksplorasi pertanyaan eksistensial dan moralitas yang muncul dalam situasi perang. Dia menggunakan narasi introspektif yang mendalam, menghadirkan suara dalam hati para prajurit yang mencerminkan keraguan, rasa kehilangan, dan keinginan untuk hidup.

Film ini juga menampilkan beberapa karakter Jepang yang terlibat dalam konflik tersebut, yang memberikan perspektif yang lebih luas tentang perang. Sementara para prajurit Amerika berjuang untuk bertahan hidup, film ini juga menyoroti penderitaan dan pengorbanan yang dialami oleh prajurit Jepang.

“The Thin Red Line” dikenal dengan visual yang luar biasa, dengan pemotretan yang indah dan penggunaan alam yang mengesankan. Musik Hans Zimmer juga memberikan lapisan emosional yang kuat pada film ini.

Film ini mungkin tidak memberikan gambaran tradisional tentang perang, tetapi lebih merupakan refleksi mendalam tentang manusia, alam, dan kehancuran perang. “The Thin Red Line” dianggap sebagai karya seni yang menggugah pikiran yang menggambarkan perang sebagai pengalaman yang mendalam dan merusak bagi jiwa manusia.

Oky Handiman
Oky merupakan salah satu founder dari Greenscene, ia juga turut berperan sebagai Operational Director. Passionnya terhadap topik seputar pop culture membuat ia terkadang ikut coverage untuk beberapa pembahasan yang tengah hangat.