Shared universe memang telah menjadi trend besar di tahun 2010an, tetapi sebagian besar upayanya gagal. Berapapun besarnya uang yang digelontorkan oleh masih-masing studio Hollywood ke dalam proyek-proyek besar dan ambisius mereka, hanya beberapa saja yang dapat bertahan sepenuhnya. Karena pada akhirnya, keberhasilan dari segi kritik dan komersial yang menjadi menjadi penentu apakah shared universe dianggap berhasil atau tidak.

Marvel Cinematic Universe menjadi contoh dari shared universe yang sangat sukses, dan sampai saat ini mereka masih terus mendominasi box office. Tentunya banyak studio-studio lain yang berusaha untuk menirukan sebuah franchise superhero yang mengesankan, tetapi itu juga tidaklah mudah. Berikut adalah alasan mengapa banyak shared universe yang dianggap gagal.

Menjadi Trend di Tahun 2010

Para penonton yang menonton akhir film Iron Man pada tahun 2008 lalu disuguhkan dengan kelahiran dari sebuah dunia baru yang diberi nama Marvel Cinematic Universe atau MCU. Saat itu, karakter Nick Fury mengundang Tony Stark untuk bergabung dengan Avengers. Empat tahun kemudian pada tahun 2012, film The Avengers membuahkan hasil yang luar biasa dengan berhasil mendapatkan lebih dari satu miliar dolar di seluruh dunia dan menjadi film terlaris ketiga sepanjang masa.

Ketika film The Avengers sukses, tiba-tiba cinematic universe menjadi sangat populer dalam sebuah bisnis film. DC kemudian memulai cinematic universenya sendiri pada tahun 2013, setahun setelah The Avengers membuktikan kehebatan crossover superhero. DC memulainya dengan film Man of Steel. Di sana, Superman akan berada di dunia yang sama dengan Batman, Wonder Woman, dan anggota Justice League lainnya. Warner Bros juga menghadirkan cinematic universe horor mereka pada tahun 2013, dengan diawali film The Conjuring. Legendary Entertainment pun kemudian memperkenalkan shared universe yang berisikan para monster.

Keberhasilan finansial juga mendorong studio untuk membangun sebuah franchise yang sudah ada sebelumnya. Fox memperluas dunia film X-Men, dengan memberikan film solo Wolverine dan Deadpool. Warner Bros juga kembali ke franchise Harry Potter, dengan membuat film-film Fantastic Beasts yang masih berlangsung di dunia penyihir.

Alasan Mengapa Shared Universe Gagal

Namun, tidak semua upaya dalam membuat shared universe berhasil. Dark Universe milik Universal misalnya, yang telah mati sejak film The Mummy dirilis pada tahun 2017 karena kritik dan masalah finansial yang dihadapi. Dalam Dark Universe tersebut, mereka sebenarnya berupaya untuk menghidupkan kembali film-film monster klasik dari Universal. Film The Mummy dianggap merusak karena aksi generiknya, dialog yang buruk, dan terlalu memaksakan untuk mengikuti trend shared universe.

Cinematic universe lainnya yang sulit bertahan adalah DCEU yang dibuat oleh DC dan Warner Bros. Awalnya cinematic universe ini berjalan cukup manis dengan filmĀ Man of Steel, namun sayangnya DCEU harus berakhir mengecewakan dengan filmĀ Justice League. Sementara Marvel menghabiskan waktu selama bertahun-tahun mengembangkan dunianya dan memberikan kesempatan bagi sebagian besar karakternya sebagai pusat perhatian, DC malah mencampur adukan semuanya, dengan jadwal produksi yang tergesa-gesa dan memperkenalkan karakter yang belum pernah muncul dalam film-film sebelumnya di DCEU.

Terburu-buru menjadi masalah utama yang melekat kepada sebuah shared universe yang digarap oleh Hollywood. Jika studio tidak mau meluangkan waktu lebih lama untuk membangun universe mereka, maka tentunya universe yang mereka bangun akan rusak. Biaya pembuatan yang besar juga menjadi penyebab utama dari kegagalan shared universe. Namun Warner Bros cukup berhasil dalam mengelola film-film dalam Conjuring universe mereka, di mana mereka membuat spinoff Conjuring dengan anggaran pembuatan yang jauh lebih kecil daripada film utamanya.

Sementara gagalnya DCEU dan Dark Universe bisa kita lihat dari film Justice League dan The Mummy, di mana kedua film tersebut memiliki biaya produksi yang membengkak. Film King of the Monster juga memiliki biaya produksi yang sangat besar. Untungnya, film King of the Monsters masih mendapat keuntungan, walaupun tidak terlalu besar untuk menutupi biaya produksi dan pemasaran yang besar.

Apa yang Harus Dilakukan?

Ide kreatif juga menjadi hal penting dalam kesuksesan shared universe. Marvel dengan cermat merencanakan hubungan antar film-filmnya, di mana semuanya dihubungkan melalu penceritaan, dan memanfaatkan detail plot dari film sebelumnya, untuk membangun narasi yang saling berhubungan sehingga akhirnya terciptalah sebuah crossover yang lebih besar. Film Infinity War dan Endgame membuat para penontonnya merasa senang, apalagi setelah para penontonnya tetap setia untuk menyaksikan film-film di MCU selama satu dekade. MCU berhasil menghadirkan alur cerita yang telah dibangun selama beberapa tahun.

Sebaliknya, film seperti Justice League tidak memiliki rasa emosional karena filmnya lebih fokus pada membangun sebuah crossover daripada menanam cerita untuk sesuatu yang besar di masa depan. Film seperti Fantastic Beasts dan Glass memiliki keuntungannya tersendiri dari film standalone yang sudah ada sebelumnya untuk membangun dunia yang hidup.

Studio juga harus merencanakan anggaran mereka untuk masa depan, demi menghindari kegagalan dari universenya. Universe Conjuring adalah salah satu franchise horor paling menguntungkan yang pernah ada, dan telah menghasilkan lebih dari satu milliar dollar selama tujuh tahun. Blumhouse juga menjadi satu-satunya studio yang selalu berusaha untuk membuat film horor dengan biaya serendah mungkin, seperti film terbaru mereka yaitu The Invisible Man yang sukses untuk membawa IP monster klasik dari Universal (bukan bagian dari Dark Universe). Faktanya cinematic untiverse memiliki masa depan yang cerah, tetapi studio harus bersabar dan berhemat dengan usaha meraka.

Restu
https://www.greenscene.co.id/author/restuprawira/