Sebagai salah satu serial sukses Netflix, The Witcher diadaptasi langsung dari novel aslinya yang ditulis oleh novelis Polandia bernama Andrzej Sapkowski. Sementara kisah novelnya lebih kaya dan kompleks, sebagian besar penggemar justru lebih mengenal The Witcher melalui waralaba game yang dibuat oleh CD Projekt. Walaupun pada dasarnya cerita di game hampir sama seperti di novelnya, tetapi ada beberapa aspek yang disesuaikan dengan format video game dan ekspektasi penggemar pada saat itu, termasuk beberapa penyesuaian nama ke dalam bahasa Inggris dan juga perubahan desain monsternya.

Dirilis pertama kali pada tahun 2007, game The Witcher sangat diterima dengan baik oleh penggemar, khususnya karena elemen RPG dan sistem gameplay yang visioner pada zamannya. Respons baik tersebut kemudian dimanfaatkan oleh CD Projekt untuk merilis sekuelnya, yaitu The Witcher 2: Assassins of Kings (2011). Di game keduanya, ada lebih banyak lagi monster dan lokasi-lokasi menarik. Tidak berhenti sampai disitu, CD Projekt melanjutkan kisah Geralt di game fenomenal The Witcher 3: Wild Hunt (2015), di mana hubungan ayah-anak dengan Ciri dieksplorasi lebih dalam.

Menariknya, ternyata serial The Witcher mulai mengambil beberapa materi dari gamenya. Hal ini terlihat di trailer The Witcher Season 2 yang baru saja dirilis oleh Netflix. Dalam beberapa cuplikan juga terlihat ada lebih banyak lagi monster yang akan dihadapi oleh Geralt, dari mulai Vampir Bruxa, sampai monster hutan Leshen yang berbentuk pepohonan, tidak seperti Leshen di novel yang berbentuk seperti anjing. Bukan hanya itu, ada satu adegan lain yang mengisyaratkan kehadiran musuh lama Geralt di game The Witcher 3: Wild Hunt.

Musuh lama tersebut adalah para penyihir Crones yang mengerikan, di mana karakter tersebut hanya bisa ditemui di waralaba gamenya. Di salah satu cuplikan trailernya terlihat sebuah pondok kayu di tengah hutan dengan jendela yang memancarkan cahaya. Yang lebih mengerikannya, pondok kayu tersebut mempunyai kaki dan bisa berputar seakan melihat pada Istredd (Royce Pierreson) dan penyihir lainnya. Pondok kayu tersebut adalah isyarat yang sangat kuat bahwa penyihir mengerikan Crones akan hadir di serialnya nanti.

Crones adalah penyihir yang terinspirasi dari mitos Baba Yaga dari cerita rakyat Slavia. Baba Yaga adalah makhluk gaib yang menampakan dirinya sebagai seorang nenek tua dengan tubuh cacat dan buruk rupa. Diceritakan bahwa dia tinggal di sebuah pondok yang bisa berdiri dan berjalan menggunakan kaki ayam di bawahnya. Crones di game The Witcher 3: Wild Hunt diperlihatkan lebih mengerikan sebagai 3 sosok penyihir bernama Brewess, Weavess, dan Whispess. Mereka tinggal di sebuah pondok misterius di dalam hutan dan suka memakan anak-anak kecil yang masuk wilayahnya tanpa izin.

Dalam beberapa kejadian bahkan Crones memelihara para anak kecil tersebut sampai dianggap cukup untuk mereka masak. Karena umur mereka yang lebih panjang dari penyihir biasa, Crones mempunyai ilmu sihir yang sangat kuat, mereka bisa berubah bentuk dan menyerupai orang lain. Kemampuan tersebut mereka gunakan untuk memanipulasi para korbannya, salah satunya adalah Ciri. Sebagai salah satu musuh yang harus dihadapi oleh Geralt, Crones mencoba menipu Ciri untuk memasaknya dan memakannya, karena menurut mereka daging Ciri dapat membuat mereka makin kuat.

Masih perlu dilihat apakah Crones di serialnya nanti akan dihadirkan sebagai 3 penyihir buruk rupa seperti di gamenya atau seperti Baba Yaga di mitos Slavia. Yang jelas, jika Crones benar-benar hadir di serialnya nanti, maka bisa dipastikan mereka akan menjadi salah satu musuh kuat dan mengerikan yang akan dihadapi oleh Geralt dan Ciri, mengingat mereka mempunyai pemikiran yang sangat licik dan jahat. Kita nantikan saja kehadiran Crones ini di serial The Witcher Season 2 yang akan dirilis pada 17 Desember 2021.

Egie
Egie adalah content writer yang memiliki passion tinggi untuk topik pop culture seputar komik, film dan series. Bergabung sejak tahun 2021, kini Egie menjadi salah satu sosok paling di andalkan untuk covering berbagai hal seputar pop culture.