Konsep tentang masa depan dan robot yang memiliki kecerdasan yang sama dengan manusia dan berusaha untuk mengambil alih dunia, merupakan salah satu konsep yang selalu menarik bagi para pembuat film dan banyak kalangan. Puncaknya kepopuleran cerita tersebut terjadi pada 1990an, yang kemudian memberikan panggung blockbuster kepada film-film seperti The Matrix dan Dark City.

Pada masa tersebut juga Jeff Vintar kemudian menulis sebuah screenplay yang aslinya bernama Hardwired, sebelum kemudian diadaptasi dan dirubah menjadi sebuah screenplay film berjudul I, Robot pada 2004. Tapi, siapa sangka jika film fiksi ilmiah tersebut diam-diam menjadi cerita prekuel bagi film The Matrix. Bagaimana bisa?

Will Smith Hampir Berperan Sebagai Neo

Di era 90an, Will Smith adalah penguasa film genre fiksi ilmiah. Independence Day dan Men in Black menjadi bukti nyata kesuksesan dari Smith. Kesuksesan dua film tersebut membawa Wachowski bersaudara untuk menemui Smith untuk berperan sebagai Neo dalam film pertama Matrix. Will Smith kemudian menolak tawaran tersebut dan justru memilih sebuah proyek adaptasi fiksi ilmiah tahun 1960, Wild Wild West.

Bertahun-tahun kemudian, Will Smith mengungkapkan alasannya menolak tawaran Wachowski bersaudara. Smith mengaku bingung dengan cerita dan konsep filmnya, terutama mengenai adegan bullet-time yang justru sekarang menjadi sangat ikonik. Smith kemudian mengakui menyesal lebih memilih Wild Wild West yang justru gagal dipasaran.

Tapi, pengalamannya di film tersebut tidak memadamkan minatnya untuk bermain di film fiksi ilmiah lainnya. Pada 2002, Will Smith kembali di film Men In Black 2 dan dua tahun kemudian dia menjadi bintang di film I, Robot.

I, Robot Berkisah Tentang Robot yang Melawan Manusia

Satu hal yang sama antara film I, Robot dengan The Matrix adalah sama-sama menghadirkan elemen mesin/robot yang justru berbalik melawan manusia. Di kedua universe film tersebut, manusia sama-sama sudah sangat maju dan modern dalam hal teknologi. Bahkan, robot sudah dibuat sedemikian rupa untuk menjadi alat bantu untuk mempermudah berbagai kegiatan manusia.

Sayangnya, manusia tidak pernah menganggap robot sama dengan mereka atau sederajat dengan mereka. Mereka hanya menganggap robot adalah mesin. Inilah yang menjadi cerita utama dalam film I, Robot dimana seorang inovator robot Dr. Alfred Lanning meninggal secara mistrius dengan cara jatuh dari atas gedung. Hal tersebut membuat Del Spooner – seorang detektif yang tidak percaya kepada robot – melakukan investigasi, dan hasilnya seorang robot cerdas bernama Sonny yang jadi pelakunya.

Sonny memang membunuh Lanning, tapi hal itu dilakukan sebagai bagian dari rencana untuk memperingatkan Spooner tentang ancaman yang sebenarnya yaitu sebuah kecerdasan buatan bernama VIKI. Kecerdasan buatan tersebut awalnya dibuat untuk memenuhi aturan utama robot yaitu robot tidak bisa melukai manusia, dan dia harus menggunakan seluruh robot untuk melindungi umat manusia. Ironisnya, hal yang terjadi justru sebaliknya.

Meskipun The Matrix tidak mengungkapkan apa yang terjadi di masa depan ketika mesin menggunakan manusia sebagai sumber daya dan mengendalikan mereka melalui semua realita simulasi dalam filmnya, film pendek animasinya, The Animatrix, menjawab pertanyaan tersebut. Dalam cerita “The Second Resistance Part I”, mesin-mesin di franchise tersebut mulai melancarkan aksinya di tahun 2090, setelah sebuah android bernama B1-66ER membunuh pemiliknya atas dasar pembelaan diri dan kemudian robot tersebut dihancurkan.

Para robot mulai menuntut aksi untuk kesetaraan derajat antara robot dan manusia. Inilah yang kemudian memicu perang antara manusia dan robot. Pertanyaan apakah para robot diperlakukan sama dengan manusia di film I, Robot dijawab ketika Spooner memperlakukan Sonny sama seperti pembunuh (manusia) pada umumnya. Namun, di akhir film Spooner kembali mengadaptasi aturan baku robot, dengan alasan Sonny tidak bisa dianggap sama seperti manusia, sehingga dia tidak bisa dianggap sebagai pembunuh.

BERSAMBUNG KE HALAMAN 2

1
2
Irvan
Irvan adalah content writer yang berpengalaman lebih dari 5 tahun di bidang pop culture termasuk film, otaku stuff dan gaming. Di Greenscene, Irvan berfokus untuk coverage di topik seputar Otaku.