Entah berapa banyak yang tahu bahwa film The Meg sebenarnya adalah adaptasi dari novel horror terkenal dengan judul Meg: A Novel of Deep Terror. Novel yang dikarang oleh Steve Alten ini populer di kalangan para pembaca, namun tidak bagi kritikus. Rencana Hollywood untuk mengadaptasi Meg sebenarnya telah direncanakan semenjak tahun 1997. Sayangnya, sama seperti film keempat Jurassic Park yakni Jurassic World, film ini mengalami kendala dalam tahap pengembangan.

Rencananya New Line Cinema akan merilis adaptasi Meg mereka pada tahun 2008, dengan calon sutradara Jan de Bont dan Guillermo del Toro. Sayangnya rencana itu harus pupus pada tahun 2007. Proyek ini kemudian diambil oleh Warner Bros., dengan sutradara Eli Roth. Sang sutradara yang terkenal dengan film horror berdarahnya ini rupanya mengundurkan diri, karena perbedaan ide (mungkin versi Roth terlalu banyak darah?). Sutradara film National Treasure, Jon Turteltaub, pun mengambil alih bangku sutradara.

Film ini adalah produksi bersama Amerika Serikat dan Tiongkok, dengan bintang Jason Statham, Li Bingbing, Rainn Wilson, Ruby Rose, Winston Chao, dan Cliff Curtis. The Meg bercerita mengenai eksplorasi di laut dalam yang secara tidak sengaja membangunkan hiu putih raksasa bernama Megalodon. Tentu saja, tujuan utama setelah para ilmuwan ini membangunkan sang hiu purbakala adalah membunuhnya sebelum menelan korban. Cerita The Meg sederhana, tidak ada yang dalam. Namun, di balik cerita yang sederhana ini, The Meg justru menghadirkan sebuah film yang menghibur dan menegangkan. Baca terus review ini untuk mengetahuinya.


Sederhana, Namun Enak Ditonton


Salah satu hal yang membuat The Meg enak ditonton adalah alur ceritanya. Belakangan, film-film B-movie “mahal” Hollywood lebih terkesan untuk memberikan penonton apa yang mereka inginkan di dalam film, seperti ledakan, monster, tembak-tembakan, dsb. The Meg juga tetap memberikan penontonnya hal yang mereka inginkan ketika membayar tiket: hiu raksasa. Namun, The Meg tidak hanya memberikan apa yang penonton inginkan, melainkan sebuah penceritaan yang enak ditonton, seperti sebuah aliran sungai yang mengalir.

Betul cerita di dalam The Meg tidak dalam dan sederhana (namanya juga B-Movie), namun The Meg juga memberikan kesempatan penonton untuk mengagumi konsep desain, visual, karakter, dan momen-momen menegangkan yang efektif. Sehingga The Meg bisa dibilang hampir tidak memberikan penonton “ruang tunggu” yang membuat mereka duduk dalam kebosanan, hingga muncul adegan yang mereka inginkan. Beginilah seharusnya film B-Movie dibuat: cerita sederhana, namun tetap membuat penonton duduk dengan tegang sembari bertanya-tanya mengenai apa yang terjadi selanjutnya.


Karakterisasi yang Tidak Sedalam Palung Laut, Namun Tetap Memberikan Senyuman


Mengejutkannya, gaya akting Jason Statham yang serius dan cool dan menjadi ciri khasnya, klop alias cocok dengan cerita The Meg. Akting dan karismanya mungkin masih kalah bila dibandingkan bintang action lain, seperti Dwayne Johnson. Namun, Statham mampu meyakinkan penonton apabila ada hiu raksasa lepas, maka dialah yang akan kamu minta untuk menyelamatkanmu. Peran Li Bingbing sebagai Suyin, seorang single mom yang tangguh, memberikan gelombang energi yang baik secara akting maupun visual (ehem). Winston Zhao, yang berperan sebagai ayah dari karakter Suyin, juga memberikan sebuah penampilan yang memberikan karisma yang bersinar, sebagai seorang ayah dan ilmuwan.

Rainn Wilson, yang berperan sebagai milyuner Jack Morris, memberikan senyuman di dalam film. Memang ada satu atau dua adegan yang tidak mengena, namun karakterisasi dan pembawaan Wilson bisa dibilang berbeda dengan karakter “badut” di dalam film lainnya. Ia bisa melemparkan dialog-dialog lucu, tapi juga bisa memberikan kesan serius di dalam beberapa adegan. Acungan jempol juga patut diberikan kepada Shuya Sophia Cai, yang memerankan putri Li Bingbing, karena tidak hanya menunjukkan wajah imut saja.

Karakter pendukung lainnya, yang diperankan oleh Cliff Curtis, Ruby Rose, Page Kennedy, dan Robert Taylor, memberikan warna tersendiri dalam film. Betul karakterisasi setiap karakter, baik yang utama maupun sampingan, tidak sedalam laut yang mereka eksplorasi. Namun, mereka tetap memberikan The Meg sebuah energi dan warna yang membuat alur cerita semakin enak ditonton.


Terror di Dalam Laut yang Menegangkan, Meski Kadang Berulang-ulang


Di dalam The Meg, sutradara John Turteltaub tidak hanya memberikan penonton sebuah film horror yang memiliki alur cerita yang bagus, namun juga sebuah film hiu raksasa yang menegangkan. Berkat bantuan sinematografer Tom Stern, yang menjadi langganan sutradara/aktor Clint Eastwood, serangan-serangan Megalodon menjadi efektif. Ada momen di mana penonton diberi keheningan yang menegangkan untuk bertanya “di mana?” dan “kapan” Megalodon akan muncul. Ketika semua pertanyaan itu di jawab penonton akan diberi adegan yang menegangkan dan memuaskan.

Sayangnya beberapa adegan terasa berulang, sehingga terasa menimbulkan ketegangan palsu. Terutama adegan jump scare, yang bukannya menggunakan suasana yang mencekam, tapi malah musik yang justru membuat kaget. Tapi bukan berarti hal ini mengganggu film, karena masih banyak lagi adegan menegangkan yang mampu membuat penonton lompat dari kursi.


Film Hiu Raksasa Terbaik?


The Meg bukanlah film berat dan serius yang harus Geeks pikirkan baik-baik untuk mendalami isi cerita, tema, atau karakternya. Namun, The Meg berhasil memberikan sebuah hiburan yang menyenangkan, menegangkan, dan salah satu film hiu raksasa terbaik. Meski begitu, The Meg masih kalah bila dibandingkan dari Jaws, Deep Blue Sea, atau The Shallow.

Sudah saatnya bagi B-movie untuk tidak hanya memberikan apa yang penonton inginkan dari premisnya, namun alur cerita yang menarik sehingga penonton tidak dibuat bosan. Mungkinkah dengan kesuksesan The Meg Hollywood berniat untuk membangkitkan kejayaan film-film “binatang raksasa”? Apabila iya, maka The Meg berhasil menjadi menu pumbuka yang baik.

TINJAUAN IKHTISAR
Storyline
Acting
Cinematography
Music Scoring
review-the-meg-tetap-menghibur-penuh-kejutanSudah saatnya bagi B-movie untuk tidak hanya memberikan apa yang penonton inginkan dari premisnya, namun alur cerita yang menarik sehingga penonton tidak dibuat bosan. Mungkinkah dengan kesuksesan The Meg Hollywood berniat untuk membangkitkan kejayaan film-film “binatang raksasa”? Apabila iya, maka The Meg berhasil menjadi menu pumbuka yang baik.